KALBAR.KABARDAERAH.COM, KETAPANG – Ratusan hektar lahan sawit milik warga di empat desa yang berada di Kecamatan Sungai Melayu Rayak, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, habis dirobohkan oleh PT Hungarindo Persada sejak beberapa bulan terakhir.
Ironisnya perobohan kelapa sawit milik ratusan kepala keluarga di SP 1,2,6 dan 8 yang merupakan warga setempat sudah berjalan sekitar empat bulan terakhir dilakukan tanpa adanya sosialisasi dan pergantian tanam tumbuh oleh pihak perusahaan.
Tokoh Masyarakat Sungai Melayu Rayak, Karli Kalotak menilai perusahaan telah berbuat semena-mena terhadap masyarakat dengan merobohkan ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu pohon kelapa sawit milik masyarakat.
“Kita sedih melihat perbuatan semena-mena perusahaan, padahal masyarakat selaku petani sudah bersusah payah mengangkat kehidupan mereka dengan membeli lahan dan menanam sawit, tapi kenyataannya perusahaan yakni PT Hungarindo Persada secara tiba-tiba main gusur dan robohkan pohon sawit milik masyarakat,” ungkapnya, Jumat (14/2/2020).
Ia menyebutkan, luas lahan yang telah digusur perusahaan kurang lebih 300 hektar, dan ini menurutnya akan terus bertambah karena sampai saat ini perusahaan masih terus melakukan perobohan terhadap sawit-sawit warga.
Sejauh ini, dikatakannya perusahaan beralasan melakukan perobohan terhadap sawit milik masyarakat lantaran berdalih tanaman masyarakat masuk dalam HGU perusahaan.
“Sedangkan hasil pengecekan pihaknya bersama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) bersama Pemkab Ketapang diketahui HGU perusahaan belum ada,” ketusnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan, padahal tanah yang ditanami sawit oleh warga merupakan hasil pembelian mereka sejak tahun 2010, dan mulai ditanam sejak tahun 2013.
“Bahkan sebagian sudah mengurus sertfikat hak milik yang saat ini sedang diproses oleh BPN, kalau memang masuk HGU perusahaan kenapa BPN memproses pengurusan sertifikat warga terbukti dengan adanya bukti pembayaran yang dilakukan warga ke BPN,” nilainya.
Dia meminta kepada Pemerintah Kabupaten, Provinsi hingga pusat untuk dapat peduli dan membantu masyarakat yang saat ini telah dirampas hak-haknya oleh perusahaan begitu saja. Terlebih setelah persoalan ini perusahaan bersedia hanya mengganti rugi pohon masyarakat dengan nominal Rp 25.000 perbatang.
“Kepada pemkab, pemprov, dan pemerintah pusat, bahkan Pak Jokowi tolonglah masyarakat kami, jangan biarkan rakyat yang susah, semakin susah dengan perlakukan perusahaan yang semena-mena ini,” ujarnya.
“Kami sebagai masyarakat menerima karena terpaksa ganti rugi yang hanya Rp 25 ribu perbatang, ini sungguh ironis,” tambahnya.
Sementara Satu diantara warga Desa Sungai Melayu Baru, Kecamatan Setempat, Sudarnoto (56), mengaku tak dapat menahan tangis ketika mengetahui ratusan batang pohon sawit milik anaknya telah dirobohkan oleh pihak perusahaan PT Hungarindo Persada.
“Punya anak saya ada 5 hektar lahan yang sudah ditanami 800 batang sawit sejak beberapa tahun lalu, tapi sekarang semua habis dirobohkan perusahaan tanpa ada pemberitahuan dan ganti rugi,” ungkapnya.
Dikatakannya, anaknya harus menabung bertahun-tahun untuk bisa membeli lahan dan menanam pohon sawit tersebut, bahkan saat ini lahan telah diproses pembuatan sertifikat hak milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ketapang dari surat keterangan tanah (SKT) yang sebelumnya didapat saat membeli lahan tersebut.
”Anak saya sampai nangis-nangis melihat semua pohon sawitnya di babat habis perusahaan, didalam aturan agama manapun saya rasa tidak diajarkan berlaku zalim seperti itu,” ketusnya.
iapun menuntut keadilan kepada pihak terkait agar persoalan bisa terselesaikan, bahkan saat ini tak ada lagi harapan baginya setelah sawit yang telah ditanam bertahun-tahun tak lagi bisa diharapkan hasilnya setelah di robohkan habis oleh pihak perusahaan.
Hal senada diungkapkan Suyanto satu diantara warga Desa Sungai Melayu Baru SP 1. Dia mengaku tak menyangka puluhan hektar lahan miliknya beserta keluarga besarnya yang telah ditanami kelapa sawit sejak 2013 saat ini sebagian telah di robohkan pihak perusahaan tanpa adanya ganti rugi dan pemberitahuan.
“Lahan saya beserta keluarga besar ada 30 hektar yang kami beli sejak tahun 2013 lalu, dan kami tebang dan tanam menggunakan tangan dan keringat kami sendiri,” tegasnya.
Namun, sekarang pohon sawit yang sudah besar sebagian telah digusur perusahaan tanpa pemberitahuan sedangkan sebagian lainnya telah dikepung tanaman sawit milik perusahaan.
”Gimana tidak stres pak, untuk total biaya saya beserta keluarga besar sudah 1 miliar lebih, karena untuk 10 hektar biaya yang telah kami keluarkan sampai sekarang sekitar 300 juta, makanya kami merasa hak-hak kami dirampas,” kesalnya.
Kini menurut dia, pihaknya sedang menunggu penertiban sertifikat atas lahan dirinya termasuk masyarakat lainnya yang telah diproses oleh BPN sejak tahun 2018 lalu.
“Kami sudah mengajukan pembuatan sertifikat hak milik sejak 2018 lalu, bahkan kami sudah bayar ke BPN biayanya satu surat mencakup 2,5 hektar lahan sebesar Rp 2.950.000 yang saat ini juga belum keluar sertifikatnya,” terangnya.
Manager PT Hungarindo Persada, Suyitno mengaku pihaknya sudah memiliki HGU lahan sejak tahun 2016 lalu, bahkan saat itu diakuinya tidak ada tanam tumbuh masyarakat di HGU miliknya.
“Saat itu kami masih menunggu proses-proses yang ada baru ditahun 2019, kami bisa mengerjakan lahan itu dan ternyata masyarakat ada membeli lahan dibawah tangan tanpa pemberitahuan ke desa dan satlak,” terangnya.
Ia mengatakan, lantaran saat akan digarap perusahaan namun sudah ada tanam tumbuh lahan didalam HGU perusahaan. Maka dilakukan mediasi kepada masyarakat oleh pihak desa untuk proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) yang dilakukan sejak bulan November, Desember hingga Januari 2020.
“Hasil mediasi disepakati pergantian tali asih yang nominalnya memang benar Rp 25 ribu perbatang, dan sebagian masyarakat ada yang telah terima, hanya saja untuk mediasi bulan Januari saat akan dibayar masyarakat tidak mau nerima karena masyarakat sudah masuk angin,” katanya.
Saat mediasi disepakati, lanjutnya, sebelum perusahaan menggarap lahan dilakukan pembersihan kiri kanan lahan supaya di lapangan kondisi tidak semak dan lebih memudahkan, setelah itu baru dilakukan pembayaran.
Namun ketika disinggung terkait perobohan sawit milik warga, Suyitno berkelit bahwa pohon-pohon sawit yang dirobohkan hanya milik warga yang telah menerima tali asih.
“Perobohan sejak Desember sampai saat ini masih dilakukan, itu hanya yang tali asih sudah dibayar,” kilahnya.
Terhadap sawit diatas tanah milik warga yang sudah bersertifikat hak milik dan sedang diurus ke BPN Ketapang, Suyitno menegaskan pihak BPN hendaknya memberi penjelasan ke warga.
(agsh)
Discussion about this post