KALBAR.KABARDAERAH.COM, KETAPANG – Manajer Kebun di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Poliplant Sejahtera (Cargill Group), M. Gultom mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. Melalui kuasa hukumnya, MJ. Samosir, SH., CTA, menilai bahwa PHK yang dilakukan perusahaan milik Cargill Group tempat kliennya berkerja tersebut yang terletak di Kecamatan Air Upas, kabupaten Ketapang, tidak sesuai dengan prosedur hukum dan tata cara pemutusan kerja menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Samosir mengatakan, dalam proses PHK yang dialami kliennya tadi, bahwa perusahaan tidak pernah memberikan surat peringatan terlebih dahulu, melainkan hanya memberi dua kali surat skorsing terkiat dugaan pelanggaran kode etik lalu melakukan PHK.
Merujuk pada UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo. PP No. 35 Tahun 2021, menurutnya, dasar pemecatan kliennya itu sangat keliru dan bertentangan dengan aturan hukum.
“Apa dasar hukumnya perusahaan menjadikan pelanggaran kode etik masuk menjadi kesalahan yang bersifat mendesak atau pelanggaran berat? lah etika kan tidak sama dengan hukum. Hukum itu sudah ditetapkan secara tegas dalam peraturan tertulis, sedangkan kode etik dalam perusahaan biasanya hanya semacam petunjuk bagaimana bersikap menghargai perusahaan dan sesama karyawan dan mitra,” terangnya, Jumat (3/6/2022).
Samosir menambahkan, kalaupun ada sanksi atas pelanggaran kode etik hanyalah sanksi teguran lisan. Namun kalau berulang pelanggaran kode etik itu dapat juga ditingkatkan ke surat peringatan 1,2, atau 3 hingga PHK.
Samosir menjelaskan, bahwa perusahaan memberi skorsing terhadap kliennya lantaran perusahaan menyebutkan kliennya memiliki konflik kepentingan yang merupakan pelanggaran kode etik berat perusahaan.
“Klien kita ini dituduhkan memiliki lahan sawit pribadi. Jadi hal ini yang mendasari Poliplant melakukan skorsing dalam rangka pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik perusahaan,” ujarnya.
Samosir membeberkan, selama 2 kali masa skorsing terhadap kliennya, pihak perusahaan tidak pernah memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran kode etik berat tadi, melainkan perusahaan melakukannya secara sepihak melalui tim mereka tanpa sekalipun pernah melibatkan kliennya.
“Seharusnya klien kita juga dilibatkan dan diberikan ruang untuk klarifikasi memberikan jawaban kalau menurut perusahaan ada temuan pelanggaran kode etik berat yang dilakukan oleh klien kita ini,” tegasnya.
Menurut Samosir, dirinya selaku praktisi hukum yang mengerti terhadap peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan khususnya menyangkut perselisihan hubungan industrial, jenis pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat mendesak dan dapat langsung dilakukan PHK tanpa surat peringatan harus berpedoman pada penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP No. 35 Tahun 2021, yaitu hanya terhadap perbuatan karyawan yang bersifat pidana atau pelanggaran berat ex Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
“Nah, untuk klien kita ini hanya dituduhkan melanggar kode etik berat, namun langsung dilakukan PHK, dasarnya hukumnya apa? ini kan sudah tidak sesuai ketentuan hukum,” terangnya.
Samosir melanjutkan, jika dikatakan benar adanya tuduhan perusahaan terhadap kliennya terbukti melanggar kode etik karena memiliki lahan sawit pribadi, namun apakah setiap orang yang bekerja di perusahaan tidak boleh memiliki pemasukan sampingan selama itu tidak mengganggu kinerjanya di perusahaan? “klien kami selama bergabung dan bekerja di perusahaan selama ± 25 tahun telah memberikan dedikasi penuh dan tanpa cacat selama bekerja pada perusahaan hingga klien kita terakhir memegang jabatan sebagai FD Managaer,” akunya.
Maka dari itu, dikatakan Samosir dari pengakuan kliennya selama bekerja di Poliplant tidak pernah mendapat surat teguran dari atasannya atau pernah lalai dalam menjalankan tugas-tugasnya di perusahaan.
Untuk itu, sesuai ketentuan hukum terkait perselisihan hubungan industrial, dirinya selaku kuasa hukum dari M.Gultom telah memberi surat tanggapan ke perusahaan untuk dilakukannya perundingan bipartit guna mencari penyelesaian.
“Namun dalam pertemuan bipartit dengan pihak perusahaan pada tanggal 25 April 2022 tidak menemukan titik penyelesaian, dimana waktu itu kita meminta perusahaan agar menyetujui status klien kita bukan di PHK secara sepihak melainkan pensiun dini, akan tetapi pihak perusahaan tetap kukuh pada pendiriannya mengacu pada surat PHK dengan menawarkan kompensasi sebanyak 1 kali ketentuan PMTK,” terang Samosir.
“Tentunya oleh pihak kita tetap tidak setuju, kalau kita terima tawaran dari perusahaan itu tadi klien kita pada konteknya dipecat, padahal kita inginnya PHK dengan karena pensiun dini,” timpalnya.
Samosir menambahkan, pihaknya bukan tanpa dasar meminta adanya status pensiun dini, lantaran sebelum adanya skorsing oleh perusahaan, menurut Samosir, kliennya sudah pernah mengajukan pensiun dini secara tertilus melalui laman email resmi di lingkungan perusahaan yang ditujukan pada atasannya lansung. Namun surat permohonan pensiun dini itu tidak pernah ditanggapi secara tertulis oleh perusahaan, hanya saja pada saat itu atasannya langsung telah menyetujui secara lisan. Sehingga pada saat itu tidak ada kepastian hukum atas permohonan klien saya.
“Namun sekitar satu atau dua bulan kemudian, ternyata yang datang itu bukan respon pengajuan pensiun dini klien saya malah surat skorsing,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Samosir mengatakan, jika pihaknya pada tanggal 9 Mei 2022 juga telah menyampaikan surat permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertans) Kabupaten Ketapang, lantaran pada pertemuan bipartit tidak menemukan solusi, sehingga menurut ketentuan hukum harus dilanjutkan ke tahap perundingan tripartit di Disnakertrans.
“Akan tetapi yang kita sangat sayangkan hingga kini progres surat kita itu belum ada tindak lanjut dari pihak Kantor Disnakertrans Ketapang. Padahal sesuai Peraturan Bupati Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Bidang Tenaga Kerja di Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Ketapang, seharusnya pelayanan publik terkait permasalahan ini sudah harus selesai dalam 30 hari kerja. Terkait hal ini, pihak kita pun sudah menyurati Disnakertrans, tepatnya pada tanggal 30 Mei 2022,” pungkasnya.
(agsh)
Discussion about this post